Mengapa atmosfer
pembelajaran dalam dunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton,
kaku, dan membosankan, sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas,
terampil dan bermoral seperti yang didambakan oleh masyarakat?
Ada beberapa argumen yang
dapat dikemukakan.
- Ketidaktepatan
sistem yang ada merupakan efek dari penyempitan makna belajar selama ini yang
memasung anak didik dari sisi lain pembelajaran. Hal ini juga membutakan anak
didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya,
sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan
hidup.
- Kebijakan
yang diambil oleh pengambil kebijakan yang menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, dimana pendidikan
harus disusun dalam struktur kurikulum penuh dengan pengetahuan dan
teori-teori. Disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membuat dunia
pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan tehnologi dengan
munculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional
yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.
Sementara itu, pendidikan
adalah proses kompleks yang ditujukan untuk membantu manusia menemukan ‘makna’
dalam kehidupan. Makna adalah spirit yang bisa mendorong manusia menuju kehidupan
yang berguna dan penuh arti. Namun apa yang terjadi bila pendidikan justru
berjalan pada rel yang sebaliknya? Bagaimana bila pendidikan bukan lagi wahana
pencarian makna dari kehidupan manusia? Tentu yang terjadi bukan pendidikan
untuk mendidik anak didik, tapi pendidikan yang hanya menyampaikan informasi
supaya anak didik mendengar dan merekam semua itu dalam memori mereka. Ini
adalah sebuah penjajahan atas hak kemerdekaan perkembangan anak didik untuk
menjadi diri mereka sendiri.
Belajar seharusnya menjadi
kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Di dalam kehidupannya,
setiap momen baru bagi manusia adalah belajar. Sekolah kehidupan adalah
aplikasi riil dari long life education,
bahwa belajar itu adalah sepanjang kehidupan. Fenomena kehidupan yang ada
berfungsi mendewasakan pikiran untuk menentukan sebuah pilihan hidup diantara
proses berpikir yang dianugrahi Tuhan.
Setiap orang diberikan
kebebasan untuk belajar di sekolah kehidupan dan dengan itu menentukan jalan
hidupnya. Dalam sekolah kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik
buruk realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-masing.
Oleh sebab itu, tidak ada yang patut bertanggung jawab dan disalahkan dalam
menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan oleh masing-masing individu.
Dengan demikian manusia dituntut mengadakan interaksi dengan lingkungannya,
belajar dari pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas itu yang
menjadi basis bagi sekolah kehidupan.
Sekolah kehidupan merupakan
prototipe pendidikan yang ideal. Banyak orang yang pintar, berprestasi,
memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula yang gagal dalam menerima kenyataan
kehidupan yang harus dihadapinya.
Guru, orang tua, pembimbing
dan semua yang terlibat sebagai praktisi pendidikan hendaklah kembali sadar
akan pentingnya penemuan makna dalam proses pembelajaran yang akan melahirkan
‘kesadaran’.
Firman Allah : “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah dirinya sendiri” (QS. Ar-Ra’du 13;11)
Palmerston North, 13th November
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar