Senin, 12 November 2012

Meaningful Learning



Mengapa atmosfer pembelajaran dalam dunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan, sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil dan bermoral seperti yang didambakan oleh masyarakat?
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan.
-       Ketidaktepatan sistem yang ada merupakan efek dari penyempitan makna belajar selama ini yang memasung anak didik dari sisi lain pembelajaran. Hal ini juga membutakan anak didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya, sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan hidup.
-       Kebijakan yang diambil oleh pengambil kebijakan yang menjadikan pendidikan sebagai engine of growth, dimana pendidikan harus disusun dalam struktur kurikulum penuh dengan pengetahuan dan teori-teori. Disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membuat dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan tehnologi dengan munculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.
Sementara itu, pendidikan adalah proses kompleks yang ditujukan untuk membantu manusia menemukan ‘makna’ dalam kehidupan. Makna adalah spirit yang bisa mendorong manusia menuju kehidupan yang berguna dan penuh arti. Namun apa yang terjadi bila pendidikan justru berjalan pada rel yang sebaliknya? Bagaimana bila pendidikan bukan lagi wahana pencarian makna dari kehidupan manusia? Tentu yang terjadi bukan pendidikan untuk mendidik anak didik, tapi pendidikan yang hanya menyampaikan informasi supaya anak didik mendengar dan merekam semua itu dalam memori mereka. Ini adalah sebuah penjajahan atas hak kemerdekaan perkembangan anak didik untuk menjadi diri mereka sendiri.
Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Di dalam kehidupannya, setiap momen baru bagi manusia adalah belajar. Sekolah kehidupan adalah aplikasi riil dari long life education, bahwa belajar itu adalah sepanjang kehidupan. Fenomena kehidupan yang ada berfungsi mendewasakan pikiran untuk menentukan sebuah pilihan hidup diantara proses berpikir yang dianugrahi Tuhan.
Setiap orang diberikan kebebasan untuk belajar di sekolah kehidupan dan dengan itu menentukan jalan hidupnya. Dalam sekolah kehidupan yang menjadi materi pembelajaran adalah baik buruk realitas itu sendiri, dan yang menjadi guru adalah pribadi masing-masing. Oleh sebab itu, tidak ada yang patut bertanggung jawab dan disalahkan dalam menentukan sebuah pilihan yang telah ditetapkan oleh masing-masing individu. Dengan demikian manusia dituntut mengadakan interaksi dengan lingkungannya, belajar dari pengalamannya, dan merancang masa depannya. Realitas itu yang menjadi basis bagi sekolah kehidupan.
Sekolah kehidupan merupakan prototipe pendidikan yang ideal. Banyak orang yang pintar, berprestasi, memiliki bermacam gelar, tapi banyak pula yang gagal dalam menerima kenyataan kehidupan yang harus dihadapinya.
Guru, orang tua, pembimbing dan semua yang terlibat sebagai praktisi pendidikan hendaklah kembali sadar akan pentingnya penemuan makna dalam proses pembelajaran yang akan melahirkan ‘kesadaran’.

Firman Allah : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah dirinya sendiri”      (QS. Ar-Ra’du 13;11)

                                                                                                 Palmerston North, 13th November 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar