Membaca
Surat untuk Ibu
dan Bapak Guru
dari Mendikbud Anies Baswedan,
terselip kata-kata ”
Menjadi guru bukanlah pengorbanan. Menjadi guru adalah sebuah kehormatan,”
Kata-kata itu sangat menohok jantungku dan menggerakkan tanganku
untuk menarikan rasa dan pikiranku di atas keyboard laptopku. Selama sepuluh tahun ini aku merasa sangat rendah diri dengan profesiku ini. Kuakui
bahwa pendidikan formal Strata satu yang pernah kutempuh bukanlah dari jalur
pendidikan. Tapi cita-citaku semasa kecil untuk menjadi guru
tetap terpatri kuat di hati dan pikiranku. Ternyata Tuhan telah menakdirkan
diriku untuk menjadi seseorang sesuai dengan harapanku itu.
Tanggal 7 Desember 2014 nanti, sertifikat sebagai pendidik professional
akan kuterima. Aku galau (kata anak-anak muda jaman sekarang). Bagaimana
tidak? Di satu sisi, aku bahagia, dengan sertifikat yang akan diterbitkan itu
akan berdampak meningkatkan keuangan rumahtanggaku (mungkin…??? INSYAALLAH,
ALHAMDULILLAH). Tapi di sisi lain,justru
kekhawatiran terhadap gelar professional
itu semakin besar menghantui diriku. Mampukah aku? Layakkah aku? Selama sepuluh
tahun ini mengabdi (subhanallah,,, tinggi sekali kata itu
kupakai, mungkin lebih tepatnya bekerja) aku merasa belum memberikan
apa-apa. Aku merasa masih anak kemarin sore yang baru punya sedikit
pengetahuan, dan sudah sombong untuk memberikannya kepada murid-muridku.
Masya Allah.
Malam sebelum aku memejamkan mata di pembaringan, sering aku berdialog
dengan hatiku. Apa yang sudah terjadi denganku seharian tadi di sekolah?
Ucapanku? Pikiranku? Tindakanku? Adakah teman-temanku terluka karena ucapanku?
Ataukah murid-muridku tersakiti dan teraniaya oleh kata-kata dan perlakuanku?
Astaghfirullahal’adziim…. Astaghfirullahal’adziim….Astaghfirullahal’adziim.
Teruntuk murid-muridku :
Ada waktu di mana aku menunda masuk ke dalam kelas karena urusan
pribadiku, atau karna menyelesaikan pekerjaan menilai tugas-tugas kalian yang
belum selesai. Adakala karena masalah
pribadiku , emosiku terbawa ke dalam ruang kelas dan tertumpahkan kepada kalian.
Allahu Rabbi. Ampuni aku!
Ratusan raga yang telah memanggilku “Bu Guru”, Kumohon maaf pada
kalian. Ku mohon ikhlaskan waktu kalian yang telah terbuang karna ulahku.
Jangan kalian takut kepadaku karena nilai-nilai kalian ada diujung penaku. Jangan kalian membungkukkan badan kepadaku hanya
karena takut pada status pekerjaanku. Aku bukan dewa yang harus kalian
sembah, murid-muridku.
Anandaku sayang, meski guru bukanlah dewa yang patut disembah, tapi tidak
lah berdosa jika kau raih tangannya lalu kau cium dan berharap restu dan doa
darinya. Salam dan sapa yang selama ini ada semoga bukan sekedar basa basi
semata. Mari kita jadikan tradisi baik ini sebagai pengikat jiwa kita sebagai
sesama makhluk Tuhan Sang Pencipta.
Murid-muridku, Aku bukan orang sempurna yang memiliki segala ilmu yang
kalian butuhkan. Mungkin aku memberi sedikit pengetahuan yang kumiliki untuk
kalian. Tapi lebih banyak kita belajar bersama untuk mendapatkan sesuatu
yang bermakna bagi kita. Kita sering berada dalam suatu scenario pembelajaran
yang telah kurancang sebelumnya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan
kurikulum kita (yang cenderung selalu berubah-ubah). Mungkin kalian menganggap bahwa belajar hanya
merupakan kewajiban untuk menerima materi-materi pelajaran di sekolah,
kewajiban mengerjakan tugas-tugas dan latihan-latihan yang diberikan oleh guru.
Bahwa belajar hanya merupakan jalan untuk memperoleh angka-angka yang akan
tertera di buku lapormu. Bukan! Murid-muridku, hakikat belajar itu bukan hanya
sebatas dinding kelas saja. Kalian bisa belajar dari setiap hal yang ditemui
dan dialami. Semoga saja kalian dapat menjadikan belajar itu sebagai suatu kebutuhan
untuk mencapai kesuksesan masa depanmu bukan sekedar kewajiban. Karena Sukses
adalah pilihan . Dan sekolah dapat menjadi jembatan menuju masa depanmu
itu,nak!
Untuk rekan-rekan guru :
Wahai rekan-rekan seprofesiku, menurutku kita adalah bagian dari
jembatan itu. Terkadang kita diposisikan menjadi lantai jembatan untuk mereka
titi dan berjalan diatasnya. Bukan berarti kita manusia hina yang bisa dipijak untuk
mencapai tujuan mereka (Masya Allah, semoga tidak !). Tapi kita adalah
dasar dan landasan mereka untuk melanjutkan perjalanan panjang mereka menjadi
manusia sukses di masanya. Kita juga bisa ditempatkan menjadi rangka samping,
tiang dan atau palang pegangan di tepi jembatan. Di mana mereka menjadikan apa
yang telah kita berikan sebagai pegangan mereka. Bahkan jika mungkin jembatan
itu ada atapnya. Kita dapat saja menjadi atap itu yang menaungi murid-murid
kita selama perjalanan mereka menuju masa depannya karena kita adalah orangtua
mereka di sekolah.
Wahai sahabat-sahabat guru, mungkin terlalu manis perumpamaan
yang ada di pikiranku. Sangat kontras dengan kalimat Pak Menteri kita : “Menjadi guru bukanlah pengorbanan”. Kenyataannya kita memang harus berkorban. Tapi semoga pengorbanan yang kita lakukan
dapat menghantarkan murid-murid kita sesuai dengan harapan dan cita-citanya. Sekalipun
kita hanya sebuah jembatan bambu.
Untuk Pemerintah :
Tidak banyak yang kuuraikan, hanya mengulang kalimat-kalimat Mendikbud
bahwa :
Pemerintah di semua level harus
menempatkan guru dengan sebaik-baiknya dan menunaikan secara tuntas semua
kewajibannya bagi guru. Pekerjaan rumah pemerintah, di semua level masih
banyak, mulai dari masalah status kepegawaian, kesejahteraan, serta hal-hal
lainnya yang berhubungan dengan guru harus dituntaskan.
***
Aku menyanjung dan tersanjung kalimat Pak Anies Baswedan, “Menjadi guru adalah sebuah
kehormatan.” Subhanallah.
Jauhkan
sifat sombong dariku ya Allah dengan kalimat Pak Anies itu. Aku lebih ingin memandang
profesiku ini sebagai suatu amanah. Di mana pendidikan
adalah ikhtiar fundamental dan kunci untuk dapat memajukan bangsa. Potensi
besar di Republik ini akan dapat dikembangkan jika manusianya terkembangkan dan
terbangunkan. Kualitas manusia adalah hulunya kemajuan dan pendidikan adalah
salah satu unsur paling penting dalam meningkatkan kualitas manusia.
Aku telah memilih menjalani hidupku di dunia pendidikan, memilih
hadir bersama anak-anak bangsa, bersama
para pemilik masa depan Indonesia. Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku hanya
manusia biasa yang mencoba menjalani amanah dengan segala kemampuan dan
keterbatasanku.
Think big, start small, and act now!
Insya Allah.
Muara Bulian, 2 Desember 2014
11.45 pm.
Jd rindu belajar dikelas itu :)
BalasHapusWira, kembangkan dan aplikasikan segala hal baik yg pernah di dapat di kelas itu sbg wujud syukurmu. Insha Allah, ruangan dan sgala isinya akan mjadi saksi yg mghantarknmu ke surga, bhwa kau telah berjihad dlm mperoleh pengetahuanmu dulu.
Hapus