Rabu, 03 Desember 2014

CHSG (Curahan Hati Seorang Guru)


Membaca Surat untuk Ibu dan Bapak Guru dari Mendikbud Anies Baswedan, terselip kata-kata ” Menjadi guru bukanlah pengorbanan. Menjadi guru adalah sebuah kehormatan,” Kata-kata itu sangat menohok jantungku dan menggerakkan tanganku untuk menarikan rasa dan pikiranku di atas keyboard laptopku. Selama sepuluh tahun ini aku merasa sangat rendah diri dengan profesiku ini. Kuakui bahwa pendidikan formal Strata satu yang pernah kutempuh bukanlah dari jalur pendidikan. Tapi cita-citaku semasa kecil untuk menjadi guru tetap terpatri kuat di hati dan pikiranku. Ternyata Tuhan telah menakdirkan diriku untuk menjadi seseorang sesuai dengan harapanku itu.

Tanggal 7 Desember 2014 nanti, sertifikat sebagai pendidik professional akan kuterima. Aku galau (kata anak-anak muda jaman sekarang). Bagaimana tidak? Di satu sisi, aku bahagia, dengan sertifikat yang akan diterbitkan itu akan berdampak meningkatkan keuangan rumahtanggaku (mungkin…??? INSYAALLAH, ALHAMDULILLAH). Tapi di sisi lain,justru  kekhawatiran terhadap gelar professional itu semakin besar menghantui diriku. Mampukah aku? Layakkah aku? Selama sepuluh tahun ini mengabdi (subhanallah,,, tinggi sekali kata itu kupakai, mungkin lebih tepatnya bekerja) aku merasa belum memberikan apa-apa. Aku merasa masih anak kemarin sore yang baru punya sedikit pengetahuan, dan sudah sombong untuk memberikannya kepada murid-muridku. Masya Allah.

Malam sebelum aku memejamkan mata di pembaringan, sering aku berdialog dengan hatiku. Apa yang sudah terjadi denganku seharian tadi di sekolah? Ucapanku? Pikiranku? Tindakanku? Adakah teman-temanku terluka karena ucapanku? Ataukah murid-muridku tersakiti dan teraniaya oleh kata-kata dan perlakuanku?

Astaghfirullahal’adziim…. Astaghfirullahal’adziim….Astaghfirullahal’adziim.

Teruntuk murid-muridku :
Ada waktu di mana aku menunda masuk ke dalam kelas karena urusan pribadiku, atau karna menyelesaikan pekerjaan menilai tugas-tugas kalian yang belum selesai.  Adakala karena masalah pribadiku , emosiku terbawa ke dalam ruang kelas dan tertumpahkan kepada kalian.

Allahu Rabbi. Ampuni aku!

Ratusan raga yang telah memanggilku “Bu Guru”, Kumohon maaf pada kalian. Ku mohon ikhlaskan waktu kalian yang telah terbuang karna ulahku. Jangan kalian takut kepadaku karena nilai-nilai kalian ada diujung penaku.  Jangan kalian membungkukkan badan kepadaku hanya karena takut pada status pekerjaanku. Aku bukan dewa yang harus kalian sembah, murid-muridku.

Anandaku sayang, meski guru bukanlah dewa yang patut disembah, tapi tidak lah berdosa jika kau raih tangannya lalu kau cium dan berharap restu dan doa darinya. Salam dan sapa yang selama ini ada semoga bukan sekedar basa basi semata. Mari kita jadikan tradisi baik ini sebagai pengikat jiwa kita sebagai sesama makhluk Tuhan Sang Pencipta.

Murid-muridku, Aku bukan orang sempurna yang memiliki segala ilmu yang kalian butuhkan. Mungkin aku memberi sedikit pengetahuan yang kumiliki untuk kalian. Tapi lebih banyak kita belajar bersama untuk mendapatkan sesuatu yang bermakna bagi kita. Kita sering berada dalam suatu scenario pembelajaran yang telah kurancang sebelumnya untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan kurikulum kita (yang cenderung selalu berubah-ubah).  Mungkin kalian menganggap bahwa belajar hanya merupakan kewajiban untuk menerima materi-materi pelajaran di sekolah, kewajiban mengerjakan tugas-tugas dan latihan-latihan yang diberikan oleh guru. Bahwa belajar hanya merupakan jalan untuk memperoleh angka-angka yang akan tertera di buku lapormu. Bukan! Murid-muridku, hakikat belajar itu bukan hanya sebatas dinding kelas saja. Kalian bisa belajar dari setiap hal yang ditemui dan dialami. Semoga saja kalian dapat menjadikan belajar itu sebagai suatu kebutuhan untuk mencapai kesuksesan masa depanmu bukan sekedar kewajiban. Karena Sukses adalah pilihan . Dan sekolah dapat menjadi jembatan menuju masa depanmu itu,nak!

Untuk rekan-rekan guru :
Wahai rekan-rekan seprofesiku, menurutku kita adalah bagian dari jembatan itu. Terkadang kita diposisikan menjadi lantai jembatan untuk mereka titi dan berjalan diatasnya. Bukan berarti kita manusia hina yang bisa dipijak untuk mencapai tujuan mereka (Masya Allah, semoga tidak !). Tapi kita adalah dasar dan landasan mereka untuk melanjutkan perjalanan panjang mereka menjadi manusia sukses di masanya. Kita juga bisa ditempatkan menjadi rangka samping, tiang dan atau palang pegangan di tepi jembatan. Di mana mereka menjadikan apa yang telah kita berikan sebagai pegangan mereka. Bahkan jika mungkin jembatan itu ada atapnya. Kita dapat saja menjadi atap itu yang menaungi murid-murid kita selama perjalanan mereka menuju masa depannya karena kita adalah orangtua mereka di sekolah.

Wahai sahabat-sahabat guru, mungkin terlalu manis perumpamaan yang ada di pikiranku. Sangat kontras dengan kalimat Pak Menteri kita : “Menjadi guru bukanlah pengorbanan”. Kenyataannya kita memang harus berkorban.  Tapi semoga pengorbanan yang kita lakukan dapat menghantarkan murid-murid kita sesuai dengan harapan dan cita-citanya. Sekalipun kita hanya sebuah jembatan bambu.

Untuk Pemerintah :
Tidak banyak yang kuuraikan, hanya mengulang kalimat-kalimat Mendikbud bahwa :
Pemerintah di semua level harus menempatkan guru dengan sebaik-baiknya dan menunaikan secara tuntas semua kewajibannya bagi guru. Pekerjaan rumah pemerintah, di semua level masih banyak, mulai dari masalah status kepegawaian, kesejahteraan, serta hal-hal lainnya yang berhubungan dengan guru harus dituntaskan.
***

Aku menyanjung dan tersanjung kalimat Pak Anies Baswedan, “Menjadi guru adalah sebuah kehormatan.” Subhanallah.
Jauhkan sifat sombong dariku ya Allah dengan kalimat Pak Anies itu. Aku lebih ingin memandang profesiku ini sebagai suatu amanah. Di mana pendidikan adalah ikhtiar fundamental dan kunci untuk dapat memajukan bangsa. Potensi besar di Republik ini akan dapat dikembangkan jika manusianya terkembangkan dan terbangunkan. Kualitas manusia adalah hulunya kemajuan dan pendidikan adalah salah satu unsur paling penting dalam meningkatkan kualitas manusia.  

Aku telah memilih menjalani hidupku di dunia pendidikan, memilih hadir bersama anak-anak bangsa, bersama para pemilik masa depan Indonesia. Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku hanya manusia biasa yang mencoba menjalani amanah dengan segala kemampuan dan keterbatasanku.

Think big, start small, and act now!

Insya Allah.

Muara Bulian, 2 Desember 2014

11.45 pm.

2 komentar:

  1. Jd rindu belajar dikelas itu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wira, kembangkan dan aplikasikan segala hal baik yg pernah di dapat di kelas itu sbg wujud syukurmu. Insha Allah, ruangan dan sgala isinya akan mjadi saksi yg mghantarknmu ke surga, bhwa kau telah berjihad dlm mperoleh pengetahuanmu dulu.

      Hapus